Film animasi Jumbo benar-benar bikin sejarah. Produksi Visinema Studios ini, yang ditulis dan disutradarai oleh Ryan Adriandhy, sukses mencatatkan diri sebagai film animasi Indonesia dengan jumlah penonton terbanyak sepanjang masa. Sejak tayang perdana pada momen strategis Lebaran 2025, Jumbo langsung diserbu penonton bioskop, tembus 4 juta lebih penonton, dan angka itu terus merangkak naik.
Anggia Kharisma selaku produser mengonfirmasi, Jumbo tak cuma mendominasi layar bioskop di dalam negeri. Saat ini, film ini sudah mengantongi persetujuan tayang di 17 negara selain Indonesia. Dari Asia Tenggara sampai negara-negara lain yang punya diaspora Indonesia besar, Jumbo siap mengibarkan bendera animasi lokal di panggung internasional. Ini pencapaian yang tidak main-main untuk industri animasi tanah air.
Apa sih sebenarnya yang bikin Jumbo begitu disukai? Ceritanya sederhana tapi dekat dengan realitas sosial. Film ini berkisah tentang Don, seorang anak laki-laki bertubuh gemuk yang kerap dirundung oleh teman-temannya dengan sebutan “Jumbo”. Tekanan sosial ini membuat Don menyimpan keinginan untuk membalas perlakuan tidak menyenangkan yang ia terima. Namun, alih-alih terjebak dalam dendam, Don justru bertemu dengan sosok arwah bernama Meri. Arwah ini meminta bantuan Don untuk menyatukan kembali dirinya dengan makam keluarganya yang telah dirusak.
Kisah Jumbo membungkus tema berat seperti bullying, penerimaan diri, sampai ke ranah spiritualitas dengan cara yang ringan, emosional, tapi juga menghibur. Dan tentu saja, animasinya yang memukau visualnya jadi nilai tambah besar. Suara-suara karakter diisi oleh talenta papan atas, termasuk Bunga Citra Lestari (BCL) dan Ariel Noah, yang memberikan napas segar dalam membangun emosi dan dinamika para tokohnya.
Namun, seiring dengan popularitasnya, angin kencang kritik juga menerpa. Salah satu yang paling ramai diperbincangkan adalah kehadiran unsur arwah dalam film anak-anak ini. Sebagian orang tua merasa keberadaan karakter arwah seperti Meri memancing polemik. Ada yang menuduh film ini mengajarkan kesyirikan, bahkan ada yang merasa lelah harus menjelaskan kepada anak-anak bahwa orang yang sudah meninggal tidak bisa kembali hadir sebagai roh gentayangan.
Menariknya, jika kita tarik ke belakang, angle kritik ini sebenarnya bukan hal baru di dunia storytelling. Kita tentu ingat bagaimana film seperti The Lion King menampilkan Mufasa yang muncul lewat awan untuk membimbing Simba, atau Coco yang seluruh plotnya berputar di alam barzah versi budaya Meksiko. Jangan lupakan Casper, si hantu baik hati yang jadi idola anak-anak tahun 90-an, sampai serial lokal legendaris Tuyul & Mbak Yul yang sudah lama akrab di layar kaca kita.
Kalau mau adil, narasi tentang arwah atau kehidupan setelah mati dalam fiksi bukan sekadar soal benar-salah, tapi bagaimana kita memanfaatkannya untuk membuka ruang diskusi dengan anak-anak. Justru di sinilah tantangannya: bagaimana orang tua bisa menjelaskan konsep ini dengan cara yang membangun, bukan menakut-nakuti atau malah menghindarinya sama sekali.
Akhirnya, Jumbo membuktikan bahwa animasi lokal bukan lagi anak bawang. Dengan cerita yang dekat, visual memukau, pengisi suara kelas atas, dan keberanian mengangkat tema yang sedikit lebih kompleks, Jumbo bukan hanya hiburan musiman. Ia adalah tonggak kemajuan baru untuk film animasi Indonesia. Kritik boleh datang, tapi selama ruang diskusi tetap terbuka, Jumbo justru bisa jadi media pembelajaran sekaligus hiburan yang menyenangkan.
Film ini bukan sekadar tontonan Lebaran, tapi juga perayaan tentang bagaimana kita mendongeng untuk generasi masa depan.
( Edi )