Home / Nasional / Pendidikan Kita Seperti Kapal Tanpa Kompas: Ganti Menteri, Ganti Haluan

Pendidikan Kita Seperti Kapal Tanpa Kompas: Ganti Menteri, Ganti Haluan

“Pendidikan Kita Seperti Kapal Tanpa Kompas: Ganti Menteri, Ganti Haluan”

Ketika jurusan IPA, IPS, dan Bahasa dihapus pada era Menteri Nadiem Makarim, banyak yang berharap ini adalah langkah progresif. Gagasan di baliknya: menghapus sekat-sekat kaku dalam pendidikan, memberi ruang bagi pelajar untuk menjelajahi lintas bidang sesuai minat dan bakat mereka. Pendidikan ingin lebih cair, adaptif terhadap perkembangan zaman, dan lebih personal bagi setiap anak bangsa.

Namun, tidak lama berselang, kebijakan ini dibalikkan.
Jurusan-jurusan lama kembali diberlakukan.
Sekolah kembali harus mengatur ulang kurikulum mereka, guru harus menyesuaikan metode pengajaran, murid harus kembali memikirkan jalur mana yang harus mereka pilih — seolah-olah eksperimen yang kemarin tak pernah terjadi.

Ini menimbulkan satu pertanyaan mendasar:

Apakah negara ini benar-benar memiliki roadmap pendidikan jangka panjang?

Karena yang terlihat selama ini, kebijakan pendidikan seperti permainan puzzle: setiap menteri datang dengan gaya dan visi masing-masing, mempreteli bagian-bagian yang lama, lalu merangkainya ulang sesuai selera pribadi. Ironisnya, tidak semua yang dirakit ulang itu memperbaiki keadaan. Tak jarang justru menciptakan kebingungan baru.

Dan yang paling terdampak, tentu saja, adalah para pelaksana di lapangan:

Sekolah kebingungan, harus membongkar rencana kerja yang kemarin mati-matian disusun.

Guru-guru kelelahan, diminta berkali-kali menyesuaikan kompetensi dengan sistem yang terus berubah.

Murid-murid? Tak lebih dari kelinci percobaan dalam laboratorium besar bernama “reformasi pendidikan”.

Di sisi lain, publik juga mulai lelah. Sikap apatis tumbuh pelan-pelan, karena setiap kebijakan terasa temporer. Ada perasaan: “Ngapain serius, toh nanti ganti lagi.”
Bahaya terbesar bukan hanya kebijakan yang buruk, tetapi hilangnya kepercayaan terhadap sistem pendidikan itu sendiri.

Padahal, seharusnya pendidikan adalah kebijakan jangka panjang yang melampaui periode kerja menteri mana pun. Pendidikan tidak boleh menjadi ajang eksperimen trial and error setiap lima tahun sekali.
Jika pendidikan terus diperlakukan seperti ini, yang dirugikan bukan hanya satu atau dua generasi pelajar — tetapi seluruh masa depan bangsa.

Maka sudah saatnya, kita mendesak adanya mekanisme “penguncian kurikulum”.
Artinya, sebuah kebijakan pendidikan harus dirancang dengan kerangka waktu panjang, misalnya 15 atau 20 tahun, dengan evaluasi yang terstruktur, bukan sekadar evaluasi karena pergantian kekuasaan.

Dengan begitu, perubahan-perubahan yang terjadi benar-benar berbasis data dan kebutuhan nyata di lapangan, bukan ego politik atau obsesi pribadi pejabat yang menjabat sementara.

Karena jika pendidikan kita terus-menerus menjadi korban tarik-menarik kepentingan politik, maka yang kita bangun bukanlah generasi emas,

Tapi generasi bingung, yang tak tahu harus percaya kepada siapa.

( Edi )

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *