IOleh : Cecep Anang Hardian
Keadilan hari ini tak lagi berdiri tegak ia tertunduk, terbungkam, bahkan diinjak-injak oleh kekuasaan. Kita hidup dalam sebuah ironi, di mana negara yang katanya berdasarkan hukum justru menyaksikan hukum dipermainkan seperti boneka, oleh mereka yang duduk nyaman di kursi kekuasaan.
Hukum seharusnya buta terhadap kekuasaan. Tapi yang kita lihat justru sebaliknya: hukum menutup mata terhadap pelanggaran para elit, tapi menatap tajam dan menghakimi rakyat kecil tanpa ampun. Kita menyaksikan orang miskin dipenjara karena mencuri demi bertahan hidup, sementara para koruptor yang mencuri miliaran dari uang rakyat justru dihukum ringan, bahkan kadang diberi panggung untuk bicara soal moral dan nasionalisme.
Lebih menyakitkan lagi, kekuasaan hari ini tak ragu memanipulasi hukum demi mempertahankan eksistensinya. Lembaga penegak hukum dijinakkan, suara kritis dibungkam, dan siapa pun yang berani menentang dianggap musuh negara. Semua dibungkus dengan narasi “demi stabilitas”, padahal kenyataannya hanyalah untuk melanggengkan kekuasaan yang rakus dan antikritik.
Dalam atmosfer seperti ini, keadilan kehilangan makna. Ia bukan lagi soal membela yang benar, tapi soal siapa yang lebih kuat. Dan ketika kebenaran tak lagi punya tempat, maka rakyat tak lagi punya harapan.
Kita tidak sedang hidup dalam negara hukum, melainkan dalam negara kuasa di mana hukum hanya berlaku jika tidak mengganggu kepentingan mereka yang berkuasa. Dan jika dibiarkan, ini bukan hanya menghancurkan hukum, tapi juga merobek-robek tatanan moral bangsa.
Kita harus berani berkata: cukup. Negara bukan milik segelintir elit politik. Keadilan bukan privilese mereka yang punya uang dan kekuasaan. Jika hukum hanya menjadi alat kekuasaan, maka rakyat punya hak untuk menggugat dengan suara, dengan gerakan, dan dengan keberanian untuk melawan.
Karena jika kita diam, kita sedang mewariskan ketidakadilan kepada generasi berikutnya. Dan itu adalah bentuk pengkhianatan terbesar.
( Red )