Oleh : Cecep Anang Hardian
Dalam khazanah pemikiran klasik, Aristoteles memberikan peringatan yang relevan hingga hari ini: demokrasi bisa berbalik menjadi bentuk pemerintahan yang rusak jika tidak dikendalikan oleh akal sehat dan keutamaan moral. Dalam karyanya *Politics*, Aristoteles membedakan demokrasi yang sehat dengan bentuk korupnya, yang ia sebut sebagai “the rule of the mob”
pemerintahan oleh massa yang tak terkendali.
Di bawah bayang-bayang idealisme, demokrasi memang tampak indah: kekuasaan berasal dari rakyat, dijalankan oleh rakyat, untuk rakyat. Namun dalam praktiknya, ketika rakyat mudah disulut emosi, gampang ditipu oleh retorika populis, dan terbiasa memilih berdasarkan sensasi ketimbang substansi, maka demokrasi tidak lagi menghasilkan keadilan, tapi ketakutan.
The rule of the mob terjadi ketika mayoritas rakyat kehilangan arah rasional dan menjadi alat kekuasaan bagi elite yang manipulatif. Di sinilah demokrasi berubah dari sistem yang seharusnya menjamin keadilan menjadi sistem yang menindas atas nama suara terbanyak. Aristoteles menyebut kondisi ini sebagai *deviasi demokrasi*—ketika rakyat tidak lagi peduli pada keutamaan bersama, tetapi hanya pada kepentingan kelompok sendiri.
Fenomena ini kini tampak jelas: politik identitas merajalela, kebijakan diambil bukan karena bijak, tapi karena menyenangkan publik. Pemimpin bukan dipilih karena visi dan integritas, tetapi karena viralitas dan gimmick. Rakyat yang kecewa menjadi beringas, bukan sadar. Maka terjadilah kekacauan demokrasi yang dikendalikan oleh emosi, bukan logika. Inilah bentuk modern dari *mob rule* yang ditakutkan Aristoteles: ketika opini massa menjadi hukum, dan hukum tak lagi punya suara.
Lebih parah, di era digital ini, “massa” tidak lagi berkumpul di jalanan, tetapi dalam ruang-ruang maya yang bising dan tidak bertanggung jawab. Informasi palsu, ujaran kebencian, dan narasi kebodohan menyebar jauh lebih cepat daripada kebenaran. Demokrasi digital telah membuka pintu bagi kebisingan, bukan kebijaksanaan.
Jika sistem ini terus dibiarkan tanpa perbaikan, maka kita tidak sedang hidup dalam demokrasi, melainkan dalam ilusi kebebasan—di mana rakyat merasa memegang kendali, padahal sedang diarahkan oleh kekuatan oligarki dan algoritma.
Aristoteles mengajarkan bahwa pemerintahan terbaik adalah yang dijalankan oleh mereka yang paling layak: cerdas secara intelektual, kuat secara moral. Tapi demokrasi yang gagal telah mengubah itu: kini yang naik ke atas adalah mereka yang paling nyaring, bukan paling mampu.
Saatnya kita bertanya: apakah kita sedang hidup dalam demokrasi, atau dalam tirani yang memakai topeng rakyat?
( Red )