Di negeri yang mencatat sejarah dengan pena penguasa, rakyat kecil hanya diberi peran sebagai angka—barisan statistik yang bisa digeser ke kiri atau ke kanan, sesuai kebutuhan. Mereka yang hidup di gang sempit, yang menimbang harga beras sebelum menanak nasi, kini diminta menimbang masa depan bangsa lewat selembar kertas dan secarik rupiah. Mereka tak paham pasal-pasal yang tertulis, tak pernah membaca draf akademik yang tebalnya melebihi gaji sebulan. Namun, mereka tahu arti perut kosong dan arti amplop yang datang bersamaan dengan sebuah permintaan: tanda tanganlah, setujuilah.Di berbagai sudut kota, di desa-desa yang sunyi dari pemberitaan, rakyat kecil dipanggil satu per satu. Ada yang datang dengan harapan, ada yang datang dengan keheranan. Duduklah mereka di kursi plastik yang disusun tergesa, mendengarkan seseorang yang bicara tentang pentingnya sebuah undang-undang yang bahkan tak sempat mereka tanyakan. UU TNI, katanya. Demi ketertiban, demi keamanan, demi negara. Lalu amplop berpindah tangan, senyum yang canggung bertukar dengan tanda tangan di atas lembar yang tak sempat mereka baca. Urusan selesai.Namun, sebelum tangan-tangan itu menari di atas kertas, sebuah pemandangan lain lebih dulu menyambut mereka. Di beberapa sudut kota, spanduk-spanduk besar telah lebih dulu berkibar. “Ormas X mendukung penuh UU TNI!” tertulis dengan huruf tebal di atas kain putih yang mulai kotor oleh debu jalanan. “Demi keamanan bangsa, kami bersama TNI!” tertera di spanduk lainnya. Tak ada yang tahu siapa yang mencetaknya, siapa yang memasangnya, dan apakah orang-orang yang namanya dicatut di situ benar-benar memahami isi yang mereka dukung. Tapi spanduk-spanduk itu ada, melambai di antara kabel listrik dan baliho-baliho lama yang mulai lapuk, seolah-olah suara rakyat telah disepakati sebelum rakyat sempat berbicara.Ada ironi yang lebih pahit dari kopi sachet yang diseduh buru-buru di pos ronda. Mereka yang paling terdampak, mereka yang paling sering berbenturan dengan kerasnya kehidupan, justru yang paling mudah dijadikan alat legitimasi. Mereka dipanggil, didudukkan, disodori kertas, lalu diberi janji samar bahwa ini demi kebaikan mereka sendiri. Tidak perlu paham isinya, tidak perlu bertanya lebih jauh. Tanda tangan saja. Sesederhana itu.Sosiolog pernah berkata, kemiskinan bukan sekadar kurangnya uang, tetapi juga kurangnya pilihan. Dan inilah yang terjadi: pilihan mereka telah lebih dulu dilucuti. Jika pertanyaannya adalah antara memahami naskah akademik atau membawa pulang sekantong sembako, jawabannya jelas. Bukan karena mereka tak peduli pada negeri, bukan karena mereka tak ingin memahami, tapi karena hidup di negeri ini adalah tentang bertahan dari hari ke hari. Satu kilo beras lebih riil daripada ratusan halaman pasal-pasal yang asing di telinga.Undang-undang yang mengatur ulang peran TNI ini mengundang banyak kritik. Lembaga kajian dan aktivis demokrasi berulang kali mengingatkan bahaya di balik perluasan peran militer ke ranah sipil. Dari tahun ke tahun, data demokrasi Indonesia terus merosot. Indeks Demokrasi yang dirilis oleh The Economist Intelligence Unit pada 2023 menunjukkan Indonesia berada di angka 6,71, turun dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Peminggiran masyarakat sipil, pembungkaman kritik, dan kembalinya dwifungsi ABRI dalam kemasan baru menjadi ancaman yang nyata. Tapi bagi rakyat kecil, angka-angka ini tak lebih dari berita lalu. Mereka hanya tahu bahwa hari ini ada beras dan minyak goreng di tangan, sementara hari esok masih jadi misteri.Sejarah mengajarkan bahwa demokrasi tidak runtuh dalam semalam. Ia terkikis perlahan, satu pasal dihapus, satu peraturan diselundupkan, satu kebebasan dikurangi, hingga suatu hari kita bangun dan menyadari bahwa yang tersisa hanyalah kepatuhan tanpa suara. Dan di saat itu, mungkin mereka yang dulu membubuhkan tanda tangan di atas kertas yang tak mereka baca akan bertanya, apa yang telah mereka setujui? Tapi saat itu, suara mereka mungkin tak lagi cukup nyaring untuk didengar.Mungkin suatu hari nanti, di perkampungan padat yang dihiasi lampu-lampu redup, seorang ayah akan mengisahkan pada anaknya bagaimana suatu waktu ia pernah menukar tanda tangannya dengan satu bungkus mie instan dan setengah liter minyak goreng. Mungkin seorang ibu akan mengenang hari itu sambil memasak dengan bahan yang dulu datang bersama amplop. Dan mungkin, mereka akan bertanya-tanya: apakah harga hidup mereka memang hanya setara dengan selembar kertas yang tak mereka pahami?Rakyat kecil selalu dijadikan penonton dalam drama politik. Mereka hanya dipanggil saat butuh angka, diingat saat butuh massa, dan disodori selembar kertas yang harus mereka tanda tangani tanpa perlu tahu isinya. Setelah itu, mereka kembali ke rutinitasnya, menatap kalender, menghitung hari sampai bantuan berikutnya tiba. Mereka mungkin tidak paham isi UU TNI, tapi mereka paham satu hal: hak mereka semakin murah, dan suara mereka semakin sunyi.Lalu, ketika penguasa berkata bahwa semua ini demi rakyat, rakyat mana yang mereka maksud? 28/03/2025
( C2P /Eddie )