
Di jalanan sunyi kawasan Gunung Kupang, Banjar, tubuh Juwita terbujur kaku. Gadis 23 tahun itu ditemukan tanpa nyawa di samping sepeda motornya, seolah tak lebih dari kecelakaan biasa. Tapi senyapnya malam menyimpan bisik-bisik kekerasan. Luka-luka di tubuhnya berbicara, lebih jujur dari rekayasa nasib.Juwita bukan sembarang nama. Ia seorang wartawati muda, pengembara kata, pencatat fakta. Dunia yang ia masuki penuh risiko tapi siapa sangka ancaman datang dari orang terdekat?
Penyidik menemukan petunjuk, menguak kebohongan. Di balik tragedi ini, berdiri seorang pria berseragam, Kelasi Satu (Kls) Jumran, prajurit TNI Angkatan Laut yang bertugas di Lanal Balikpapan.Jumran bukan sekadar kenalan. Ia kekasih Juwita. Ia memanggilnya malam itu,mungkin untuk perpisahan, mungkin untuk sesuatu yang lebih gelap. Fakta demi fakta mengalir. Hasil otopsi membisikkan cerita lain: ada jejak yang tak semestinya di tubuh korban. Seorang perempuan muda, seorang wartawati, bukan hanya dibunuh, tapi lebih dari itu dilecehkan, dihancurkan, sebelum akhirnya dipaksa diam.
Dalam genggaman Juwita, ada sepotong kebenaran yang nyaris luput. Sebuah rekaman, lima detik saja, tapi cukup untuk menahan dusta. Dalam video itu, wajah Jumran terekam, seperti bayangan yang bergetar di batas antara hidup dan mati.Keluarga Juwita menolak diam. Mereka tahu, ini bukan sekadar kasus kriminal biasa. Ini adalah pembunuhan yang terencana, yang dilakukan di dalam mobil pelaku, yang mungkin didorong oleh sesuatu yang lebih besar dari sekadar hubungan pribadi. Mereka menuntut keadilan, meski tahu jalan menuju itu selalu dipenuhi kabut tebal.
Pihak TNI AL, melalui Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL) Laksamana TNI Muhammad Ali, berjanji bahwa proses hukum akan berjalan transparan. Bahwa seragam bukan perisai bagi kejahatan. Tapi janji adalah suara, dan suara harus dibuktikan dengan langkah.
Kematian Juwita bukan sekadar kehilangan seorang wartawati. Ia adalah alarm yang berdering nyaring tentang betapa rentannya mereka yang mencari kebenaran. Bahwa di negeri ini, pena masih bisa dipatahkan oleh tangan yang seharusnya melindungi. Bahwa seorang perempuan yang bersuara masih bisa dibungkam dengan cara paling keji.Malam itu, Juwita pergi membawa cerita yang tak sempat ia tulis sendiri. Kini, tugas kita untuk tidak membiarkan kisahnya terkubur bersama raganya.
( edi )
Related Posts
Juni 7, 2025
Juni 6, 2025
Juni 5, 2025