- Oleh : Cecep Anang Hardian
Saat ini, banyak orang Indonesia merasa hidup makin sulit. Ketika ditanya, “Masalah apa yang paling membuat khawatir?” sebagian besar menjawab: pekerjaan.
Wajar saja. Banyak orang kesulitan mencari nafkah, gaji tidak cukup untuk kebutuhan sehari-hari, dan harga barang terus naik. Setelah itu, orang juga khawatir soal kesehatan, kemiskinan, pendidikan, dan soal hak-hak manusia. Tapi ada satu masalah penting yang justru tidak banyak disebut: kerusakan lingkungan dan perubahan iklim.
Padahal, bumi yang rusak bisa membuat semua masalah itu jadi lebih parah. Misalnya, kalau sawah gagal panen karena kekeringan, harga beras jadi mahal. Kalau laut tercemar, nelayan tidak bisa mencari ikan. Kalau banjir makin sering, rumah rusak dan orang kehilangan tempat tinggal. Tapi mengapa banyak orang belum menganggap perubahan iklim itu penting?
Salah satu sebabnya adalah karena perubahan iklim sering dibicarakan dengan bahasa yang sulit dimengerti. Banyak orang tidak tahu apa hubungannya perubahan iklim dengan hidup mereka sehari-hari. Akibatnya, mereka merasa itu bukan urusan mereka. Padahal, dampaknya sudah kita rasakan sekarang.
Bayangkan saja: ketika musim hujan makin tak menentu, petani bingung menanam. Saat musim kemarau terlalu panjang, harga sayuran naik. Bahkan udara di kota-kota besar makin panas dan penuh polusi. Semua itu adalah bagian dari krisis iklim yang sedang terjadi.
Sebetulnya, kalau kita jelaskan dengan cara yang sederhana, masyarakat akan lebih paham. Misalnya, kita tidak perlu bicara soal emisi karbon atau istilah teknis lainnya. Tapi cukup katakan: kalau lingkungan rusak, petani gagal panen, harga makanan naik, dan hidup kita jadi makin susah.
Dalam Islam, menjaga alam bukan hanya anjuran, tapi kewajiban. Allah sudah mengingatkan dalam Alquran, “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut karena perbuatan manusia sendiri…” (QS Ar-Rum: 41). Artinya, kerusakan bumi ini terjadi karena ulah kita sendiri—karena kita terlalu serakah, terlalu mengejar keuntungan, dan tidak peduli pada alam.
Kita juga diajarkan bahwa manusia adalah khalifah, atau pemimpin di bumi (QS Al-Baqarah: 30). Tugas khalifah bukan hanya memimpin manusia, tapi juga menjaga bumi: pohonnya, lautnya, udaranya, dan semua makhluk hidup di dalamnya. Kalau kita membiarkan bumi rusak, berarti kita sudah melanggar tugas yang Allah berikan.
Tapi mengapa masyarakat belum bergerak? Karena mereka belum merasa dekat dengan isu ini. Dan karena itu, kita perlu bantuan orang-orang yang dipercaya masyarakat: para pemuka agama.
Survei menunjukkan bahwa ustaz, kiai, dan tokoh agama adalah orang yang paling dipercaya oleh masyarakat untuk menyampaikan pesan soal perubahan iklim—bahkan lebih dipercaya dari pejabat pemerintah. Sayangnya, selama ini mereka jarang dilibatkan dalam diskusi soal lingkungan hidup.
Padahal, isi ceramah agama bisa menjadi jalan yang kuat untuk menyadarkan masyarakat. Bayangkan kalau setiap khotbah Jumat atau pengajian menyisipkan pesan soal pentingnya menjaga alam. Kita bisa menyampaikan bahwa membuang sampah sembarangan itu bukan hanya tidak sopan, tapi juga dosa. Menebang pohon sembarangan itu bukan hanya merugikan orang lain, tapi juga melanggar perintah Allah.
Seperti dalam Alquran, Allah berfirman:
“Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya…” (QS Al-A’raf: 56).
Dan dalam ayat lain disebutkan bahwa pohon-pohon dan tumbuhan diciptakan Allah untuk kehidupan manusia (QS Al-An’am: 141). Maka sudah sepantasnya kita rawat dan jaga, bukan kita rusak.
Seorang kiai di Jawa Barat pernah berkata, “Dakwah Islam bukan cuma mengajarkan salat dan puasa, tapi juga bagaimana kita menjaga alam dan sesama manusia.”
Begitu juga seorang ulama di Aceh mengatakan, “Perubahan iklim itu terjadi karena ulah manusia. Tapi manusia juga punya kuasa untuk memperbaikinya.”
Jadi, sudah saatnya kita bergerak. Bukan hanya menunggu pemerintah atau lembaga lingkungan. Tapi mulai dari diri sendiri. Jangan buang sampah sembarangan. Kurangi plastik. Tanam pohon. Gunakan energi seperlunya. Dan ajak orang di sekitar kita untuk ikut menjaga bumi. Ini bukan tugas satu orang, tapi tugas bersama.
Karena kalau bumi sakit, semua ikut merasakan. Kalau laut rusak, udara kotor, dan tanah tandus—yang susah bukan hanya hewan atau tumbuhan, tapi kita juga.
Mari kita jaga bumi ini seperti kita menjaga keluarga kita sendiri. Karena bumi bukan warisan dari nenek moyang, tapi titipan untuk anak cucu.
( Red )